Pulang Dari Jepang jadi Juragan Tempe |
Tuesday, 09 August 2011 12:21 | ||
Segera setelah dapat informasi dari temannya, alumnus Madrasah Aliyah Yasfiah Wani pada 1999 ini pun langsung mendatangi kantor Disnaker setempat untuk mendaftarkan diri. "Saya beruntung urus melalui pemerintah dan biayanya sangat murah," ujar Mursid saat ditemui di desa Wani Dua, Kecamatan Tanantovea, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/8) pekan lalu. Setelah lengkap dokumen keberangkatannya pada 2002, Mursid berangkat ke Jepanh.Di sana, ayah 1 orang anak ini bekerja sebagai tukang bangunan di kota Hamamatsu, Provinsi Sijuoka, Jepang Timur. "Saya mendapatkan gaji 80 ribu Yen atau setara dengan Rp7 juta per bulan," akunya bangga. Gaji Rp7 juta, katanya, untuk tahun pertama. Di tahun kedua, perusahaan memberinya tambahan gaji. Selama tahun pertama, Mursid sudah keliling di 5 Provinsi di Jepang. Tetapi di kota Hamamatsu ia merasa lebih senang. "Hamamatsu selain alamat kantor pusat, juga banyak orang Indonesia yang bisa saya temu," kenangnya. Belum sampai 3 tahun bekerja sesuai kontraknya Mursid mengalami kecelakaan kerja dan harus dirawat selama 3 bulan. Malangnya, ia dinyatakan kurang sehat dan terpaksa harus dikembalikan ke Indonesia. Sekembalinya dari negeri Sakura tahun 2003, Mursid tidak langsung membuka usaha panganan tempe. Dia bekerja dulu secara serabutan. Dari tabungan, selain digunakan untuk menyekolahan adiknya hingga sampai kuliah. Ia juga menggunakan untuk biaya untuk merenovasi rumahnya sebesar Rp 40 juta. Awalnya usaha membuka usaha tempe terjadi ketika ia main ke rumah saudaranya di Kalimantan tahun 2008. "Saya belajar membuat tempe dari adik ipar sepupu saya yang keturunan Jawa," tutur Mursid. Sekembalinya dari Kalimantan, dia langsung buka usaha tempe di rumahnya di Jl Petaloloan 2 RT 05 Dusun Lima Wani Dua. "Dengan modal Rp 15 juta saya beli mesin pemecah kedelai dan bahan baku," terang Mursid. Hingga kini, produksi tempe yang mempekerjakan 3 orang dari keluarganya sendiri per hari sebanyak 40 Kg. "Ada 3 pasar yang menjual Tempe saya yaitu Pasar Labuan Tawa Ili dan Towayar dan Taipah," tandasnya. Pemasarannya, lanjut Mursid, sebagian ada yang dikirim dan sebagian lagi ia jual sendiri. Para pedagangnya ada yang membayar per 3 hari hingga per minggu. Ia menjelaskan, di Palu tempenya sudah banyak yang kenal. Namun untuk bisa dijual ke kabupaten lain masih sulit. "Tempe di Sulteng umumnya lebar dan pakai pengawet. Sedang saya produksi secara alami," aku Mursid. Bank Rakyat Indonesia pun sudah membantu penambahan modalnya dari mulai Rp 5 juta hingga Rp 15 juta. "Per bulan saya bisa dapat Rp 2 juta," kata Mursid yang menikahi Uliani dan memiliki seorang putra bernama Muliadi Malik Kobar Ketika ia menerima bantuan TKI bermasalah dengan kecelakaan kerja dari Kepala BNP2TKI, ia pun senang bukan kepalang. "Alhamdulillah, lumayan buat persiapan lebaran," pungkas Mursid. (Zul). |
0 komentar:
Posting Komentar